wp_ss_20161121_0001

Setiap hari yang masuk di saya itu politik, ekonomi―yang terkadang membuat pusing. Tapi begitu ketemu musik langsung fresh lagi. Musik bisa membuat kita lebih optimis. Dan dengan musik, kita bisa merayakan saat-saat bahagia.” -Presiden Jokowi saat perayaan Hari Musik Nasional 2017 di Istana Negara

Omong-omong soal musik, kira-kira kapan terakhir kali kita membeli kaset pita di toko musik? Atau mencari kepingan cakram padat (compact disc) dari penyanyi kesukaan di dalam mall? Rasa-rasanya sudah lama sekali kegiatan seperti itu kita lakukan. Mungkin lima sampai sepuluh tahunan lalu. Bahkan lebih?

Saya sendiri membeli kaset pita di toko musik terakhir sekitar tahun 2007. Di kawasan Blok M, Jakarta Selatan yang sudah barang tentu saat ini sudah tidak ada. Begitu juga dengan CD. Saya beli di toko musik dalam pasar swalayan kisaran tahun 2010. Medio 2000 sampai 2010 toko-toko musik masih jamak ditemukan. Namun sekarang, toko-toko musik dengan modal besar itu rata-rata sudah gulung tikar. Tergerus dengan industri musik digital. Meskipun masih ada satu-dua toko yang masih bertahan berjualan dalam mall.

Sebagai generasi internet, kita sudah terlalu dimanjakan untuk mengakses berbagai konten digital. Konten musik salah satunya. Dari musik jenis kuno hingga yang kini. Hanya dengan menekan tombol ‘klik’ demi ‘klik’ kita sudah bisa menapak tilas seluruh jenis musik yang ada di dunia manusia. Sangat mudah. Namun satu hal yang membedakan proses konsumsi musik fisik dan musik digital: kenikmatan. Ada berbagai kenikmatan yang bisa kita rasakan saat mengonsumsi rekaman fisik musik.

Pertama saat kita membuka segel CD yang baru saja kita beli. Aroma kemasan cakram padat beserta artwork desain sampul menjadi kenikmatan pertama. Kedua saat akan memutar CD. Bisa dengan CD player atau perangkat lainnya seperti laptop. Jika kita memutarnya dengan laptop, maka sebaiknya dengarkanlah melalui alat dengar headphone. Kemudian rasakan kedalaman suaranya hingga seakan-akan kita sedang mendengarkan si artis saat rekaman di studio. Kenikmatan ketiga adalah saat membaca liner notes. Ini yang tak mungkin dirasakan saat mendengar musik digital. Liner notes biasanya berisi lirik-lirik lagu, galeri foto, ucapan terima kasih serta catatan-catatan lainnya dari si artis. Dan yang terakhir sekaligus yang paling menarik adalah kita bisa menjual kembali CD yang pernah kita beli itu. Harga jualnya tergantung kondisi dan status barangnya. Jadi secara tidak langsung, mengonsumsi rilisan fisik rekaman musik sama dengan berinvestasi. Meskipun angka investasinya tak sebesar investasi aset tanah atau rumah.

Saat ini toko-toko musik konvensional banyak yang telah gulung tikar berjamaah. Tapi justru kini banyak bermunculan toko-toko kecil yang menjual rilisan fisik rekaman musik. Baik dalam format kaset, CD maupun piringan hitam. Toko-toko kecil ini kebanyakan muncul di sosial media seperti Instagram atau platform digital lainnya. Di toko-toko seperti ini, biasanya kita menemukan album-album ‘ajaib’ yang pernah kita suka. Misalnya saja beberapa kaset lawas seperti album soundtrack film Badai Pasti Berlalu yang rilis tahun 1974, album perdana dari artis besar sekaliber The Rolling Stones rilisan tahun 1964 serta album perdana Koes Plus yang rilis tahun 1969 merupakan beberapa barang ajaib yang saya temukan dari hasil transaksi online.

Ditambah lagi sejak tahun 2014 Indonesia ikut ambil bagian dalam acara berskala global Record Store Day. Sebuah perhelatan yang dikhususkan untuk para toko-toko rekaman musik menjual album musik baik rilisan terbaru maupun masa lalu. Selain Record Store Day, ada juga Cassette Store Day yang dikhususkan menjual rilisan format kaset pita. Acara ini biasanya dihelat setiap bulan Oktober.

Mengonsumsi musik pop tak hanya dengan cara mendengarkan lagu-lagunya―baik secara fisik maupun digital. Musik pop juga dapat dinikmati secara tontonan langsung. Seperti konser musik misalnya. Saya ingat sekali hadiah ulang tahun saya yang ke-17 adalah tiket konser artis internasional kesukaan saya saat itu. Angels and Airwaves. Menonton aksi panggung Thomas Matthew Delonge dan kawan-kawannya yang biasa saya tonton via kanal YouTube saat itu mendapat kesempatan menonton secara langsung. Tak hanya menikmati musiknya, tapi juga bagaimana saya melihat dengan mata kepala sendiri keringat-keringat mereka diatas panggung. Luar biasa. Seperti mimpi rasanya. Lega sekaligus bahagia.

Meski demikian, betapapun nikmatnya mengonsumsi musik pop, seorang filsuf kenamaan jebolan Frankfurt School, Theodor Adorno berpendapat bahwa musik pop merupakan salah satu bukti kekuatan industri budaya. Menurutnya, musik pop yang dihasilkan oleh industri budaya didominasi oleh dua proses: standarisasi dan individualisme semu. Yaitu bahwa lagu-lagu pop semakin lama semakin kedengaran mirip satu sama lain. Kita ambil contoh saja struktur nada lagu-lagu The Beatles era awal dan The Rolling Stones. Keduanya muncul pada medio 1960an. Atau jika kita menyimak Guns N’ Roses dan Motley Crue. Karakter vokal Vince Neils dan Axl Rose terdengar mirip. Disinilah letak kejelian Adorno ihwal konstruksi industri budaya atas selera pasar dalam masyarakat massa.

Lebih jauh lagi Adorno menajamkan gagasannya mengenai industri budaya. Baginya, musik pop masuk dalam kategori komoditas budaya. Komoditas yang melahirkan suatu hubungan ‘langsung’ dengan apa yang kita beli. Menonton konser misalnya. Pengalaman musikal seperti ini yang bisa menyamarkan dirinya menjadi objek kenikmatan. Lantas, kenikmatan inilah yang bisa berujung pada fetisisme komoditas. Atau ritus pemujaan terhadap produk-produk budaya massa.

Bagi saya sendiri, musik adalah kudapan harian. Saat kerja maupun senggang, dalam perjalanan atau menjelang tidur, musik adalah teman yang paling bisa diandalkan. Bahkan tak hanya sebagai media hiburan, karya-karya musikal kerap saya jadikan sebagai bahan kajian-kajian intelektual. Betapa nikmatnya mengonsumsi musik. Kalau sudah begini, saya sepakat dengan apa yang dikatakan Nietzsche: without music, life would be a mistake.

Gunawan Wibisono
IMG_1103
email: wibisonognwn@gmail.com

Leave a comment