oleh: Gunawan Wibisono

“Tilik” berangkat dari narasi sederhana: sebuah kehidupan ibu-ibu di desa. Kehidupan yang memang memiliki solidaritas sosial mekanik. Solidaritas yang dibangun atas kesadaran kolektif masyarakatnya. Kehidupan sosialnya memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan serta pola normatif yang sama antar individu. Tak ayal, jika ada seseorang yang sedang tertimpa musibah, maka seluruh warga akan gotong royong memberikan pertolongan. Seperti tema utama dalam sekujur film ini: tilik orang sakit, Bu Lurah.

Tilik dalam bahasa jawa berarti menjenguk. Menariknya, dalam masyarakat pedesaan, perilaku tilik ini biasanya dilakukan secara bedol desa. Alias rombongan dengan menaiki angkutan sewaan. Bisa bus, pick up, atau truk, misalnya. Bagus Sumartono selaku penulis naskah dan sutradara Wahyu Agung Prasetyo sangat cekatan dan jeli melihat fenomena ini untuk kemudian diangkat menjadi road movie yang mengigit.

Rombongan ibu-ibu tilik itu menaiki truk yang dinahkodai oleh Gotrek bersama istrinya. Sepanjang perjalanan, Bu Tejo mendominasi perbincangan. Topik utamanya adalah Dian. Si kembang desa yang lagi dekat dengan anak Bu Lurah, Fikri. Bagi Bu Tejo, Dian adalah perempuan gak cetho karena pekerjaannya gak jelas. Namun, ia mampu memiliki barang-barang yang tak murah. Semua informasi itu Bu Tejo dapatkan dari media sosial. Wahyu menyisipkan isu hoaks sebagai bingkai cerita. Bagi Bu Tejo, internet adalah jendela cakrawala segalanya. Semua yang ada di situ adalah kebenaran.

Secara aspek sinematik, dialog bahasa jawa yang disajikan Bagus Sumartono sangat luwes. Terutama dari tokoh-tokoh pendukung seperti Yu Ning, Bu Tri, Yu Sam. Mereka sangat natural sekali dalam penggunaan bahasa jawa ngoko. Pula dalam teknis pengambilan gambar. Road movie punya tanggung jawab besar ihwal sinematogafi: secara aspek alam, maupun kondisi lingkungan. “Tilik” sangat nyaman dinikmati dalam hal-hal itu. Penonton dibawa dalam suasana muatan truk ibu-ibu dengan segala kompleksitasnya.

Problem Stigmatisasi

Setidaknya, “Tilik” membingkai tiga problem stigmatisasi. Pertama, soal Dian. Perempuan yang bekerja tidak jelas, keluar malam, belum menikah di usia matang, dianggap sebagai perempuan nakal. Bahkan tertuduh menggunakan susuk karena paras ayunya. Kedua, stigma tentang ibu-ibu. Bu Tejo dan komplotannya dilihat sebagai sekumpulan perempuan berjilbab yang doyan bergosip, rasan-rasan, hingga menghakimi seseorang tanpa informasi yang jelas. Juga Bu Tejo yang suka pamer sesuatu. Terakhir adalah bagaimana film ini menempatkan posisi laki-laki. Ada tiga lelaki di film ini: Gotrek, Fikri, dan Pak Lurah. Gotrek dan Fikri digambarkan sebagai lelaki leda-lede atau tidak tegas, manutan dengan perempuan. Sedangkan Pak Lurah digambarkan sebagai lelaki bajingan yang ternyata main serong dengan Dian. Sebuah plot twist yang lagi-lagi dengan cita rasa stigma yang kental.

Glorifikasi atas kemenangan stigma ini menjadi bukti bahwa “Tilik” tidak berani mengambil sikap atas problem tersebut. Sepertinya, Wahyu dan tim memang sengaja hanya menampilkan sebentuk ironi (?). Tentang betapa rapuhnya menjadi perempuan. Tentang betapa rentannya posisi perempuan lajang. Meski demikian, realitas film memang tak wajib menghadirkan konklusi seperti solusi atau edukasi kepada penonton. Tetapi tak ada salahnya juga jika kita membatin, film yang didukung oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini hanya membingkai soal stigma?

Leave a comment